Kamis, 27 November 2008

Mosaik tradisi kita

Hari itu berencana jalan-jalan…menuju rumah seseorang,…di daerah Jakarta Pusat. Perjalanan hari ini pasti agak lebih lama…gara-gara pembangunan jalur Busway di Pondok Indah. Mau gak mau khan gw lewat sana…Walopun Tol jati asih udah dibuka beberapa waktu yang lalu yang notabene seharusnya bikin gw makin cepat sampe kalo mau ke jakarta… Begitu Masuk Pondok Indah menuju Kerinci,…gw baru menyadari…wajah Jakarta begitu monotonnya…walopun gw jarang pulang ke bekasi…dan jarang main ke Jakarta semenjak kuliah di Bandung. Gw jadi teringat, beberapa kali nyokap gw mengeluh soal jalanan yang lubang-lubangnya semakin mirip sumur…ato mungkin Jakarta yang kini terendam banjir kalo musim hujan tiba…Suatu saat gw berhenti di lampu merah,sebelah gw kebetulan Metro Mini…Sejenak gw pandangi tuh isi metro mini…penuh sesak…sebagian orangnya berdiri sambil memegang gagang besi di atas kepala mereka…belum lagi ruas jalan di sebrang gw terlihat macet…tiba-tiba aja gw pingin berhenti…injak rem…lalu jalan pulang ke rumah. Hmmm benar-benar soal serius bagi orang-orang yang ‘tak berduit’ ketika mau berbudaya. Menurut gw, Warga Jakarta seperti terasing dari lingkungan yang nyaman…balik lagi ke wajah Jakarta yang serasa monoton dari hari ke hari…Kini Jalan-jalan besar di Jakarta dipenuhi oleh arsitektur bergaya internasional-fungsional, sementara di pinggiran kali, di pinggiran kota Jakarta yang penuh dengan dentuman music house ketika malam hari dan penuh dengan kemewahan, masih banyak manusia-manusia yang mencekik leher dan menahan rasa lapar. Rumah-rumah di daerah mewah membangun pagarnya tinggi-tinggi. Gedung-gedung tua dan bersejarah ditebang untuk digantikan bangunan-bangunan yang dapat mendatangkan uang (untuk segelintir orang). Pohon-pohon tua dan besar bertumbangan. Yang kini mendatangkan tradisi baru tidak hanya dikalangan orang-orang yang terpinggir secara sosial…tapi juga seluruh warga…Menyambut Banjir Tiap tahun…Tapi itu seperti tradisi…suatu budaya baru…jadi, budaya tidak lain adalah penghancuran identitas, secara sadar maupun tidak sadar, demi pemenuhan kebutuhan jangka pendek.Tapi itulah mosaik kita….Lalu,bagaimana?

DiLatasi bikin terbang dengan mudah??

Dilatasi tuh apa,ya? Itu yang saya pikirkan pertama kali. Ketika seseorang berbicara tentang dilatasi waktu dan dilatasi ruang yang lalu merembet ke arah cyberspice pagi itu.

Teori relativitas Einstein, menguak sedikit harapan di antara keputusasaan manusia dalam menempuh perjalanan luar angkasa yang jauh dan memakan waktu lama. Andaikan kita menempuh perjalanan waktu ke sebuah bintang yang letaknya 100 tahun cahaya, maka jika gak ada benda yang dapat bergerak melebihi kecepatan cahaya, menurut teori Fisika klasik, maka minimal waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bintang tersebut adalah 100 tahun lebih sedikit. Tapi dengan diformulasikannya teori relativitas Einstein yang berkenaan dengan dilatasi waktu, maka perjalanan yang memakan waktu 100 tahun tersebut dapat ‘dipersingkat’ (awas dalam tanda kutip!) menjadi puluhan tahun, belasan, atau bahkan satuan tahun!

Teori relativitas khusus Einstein sebenarnya ada empat: yaitu yang mencakup: Pemendekan Panjang (Length Contraction), Pemelaran Waktu/Dilatasi Waktu (Time Dilation), Penambahan Massa (Mass Increase), dan juga hubungan antara energi dan massa yang terkenal dengan rumusnya: e=m{c}^{2}
(hwehehe…bicara dikit tentang fisika…klo ada yang salah, maafkan….!!)
Lalu saya terpikir, ketika seseorang yang memiliki akses tekhnologi dan ingin berhubungan dengan yang namanya negara lain, atau taruhlah dia ingin melihat kondisi negara Amerika pada masa pemilihan presiden saat ini, maka ia akan terkena jarak waktu yang pendek. Ya, dilatasi waktu. Berbeda dengan ketika seseorang yang tidak memiliki akses, taruhlah ia hidup di desa dan ingin mencari informasi dari kota, ia harus menempuh jarak yang jauuuuuuhhh lebih panjang. Lebih cape’.
Saya menyimpulkan, saat ini, ruang antara Desa dengan Kota tidak hanya lagi menjadi masalah sosial atau geografis berupa patok-patok atau batas wilayah berupa garis tebal merah di peta, tetapi juga masalah ruang yang semakin Spasial karena tekhnologi…Tekhnologi jadi menyamarkan suatu jarak geografis suatu wilayah…Desa - kota…kota - desa. Bagaimana ?? Yaaa,..bercenayanglah !! n_n

Jumat, 07 November 2008

Detak menanti senja


Detak gerak dalam hasrat.
Detak gerak dalam nadi.
Merambat cepat dalam mimpi diantara bilik-bilik.
Detak lamban ketika ia memecah dalam hening
Gelisah menanti matahari dalam rimba kabut sore
membawaku menembus senja yang berkabut...
Melayang jauh diantara ruang dan waktu
Makin gelisah aku menanti
sinar senja redup diantara kabut
Sejenak pandangan menuju merah redupnya langit
Gelisah menanti datangnya senja
sebelum datang pekatnya malam
dalam rimba kabut sore

Rabu, 05 November 2008

Menembus Senja

"Ini perjalanan menembus senja,anakku!" Ibu mengusap dahiku yang berkeringat. senyumnya getir. Tapi, senja kali ini ia tidak memakai bedak itu. Yang biasa ia gunakan tiap kali kami hendak melakukan perjalanan. Di tangan kirinya ia membawa sekeranjang bebijian pinus. Tangan kanannya masih membelai rambutku, rambut hitam panjangku yang menurun darinya. Langit sudah memerah memang. Burung-burung bergerombol terbang menuju selatan. Kemana lagi Ibu akan membawaku senja kali ini? Kemarin lalu aku tidak hanya berjalan menembus senja. Kabut tebal dan hujan gerimis juga menemani perjalanan kami. Jalanan menanjak yang licin membuat perjalanan kami sedikit terganggu. Dadaku sedikit sesak saat itu, menghirup pekatnya kabut sore. Berkeringat tubuhku, tubuh kami. Tapi aku menggigil dingin karenanya. Dan saat itu ,kulihat ibu merapatkan jaketnya, lalu merapatkan jaketku yang lebih tebal dari jaket yang ia pakai. Ia masih tersenyum sekali pun giginya beradu. Dapat kurasakan jari-jarinya dingin, membeku, menggenggamku.
"Ini bukan perjalanan main-main,nak. Kamu terlahir ketika senja muncul, dan hidupmu dimulai saat itu. Menarilah...!!"